Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB Undip) kembali menunjukkan kontribusinya dalam pengembangan ilmu kebudayaan dan pendidikan Bahasa Jawa. Pada Rabu, 16 April 2025, salah satu dosennya, Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum., hadir sebagai narasumber dalam seminar nasional bertajuk “Strategi Pembelajaran Efektif Bahasa dan Sastra Jawa untuk Pembelajar Milenial” yang diselenggarakan oleh Prodi S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah (PBSD), FKIP Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo.
Acara yang digelar secara daring melalui Zoom Meeting ini dimulai pukul 08.00 WIB dan diikuti oleh berbagai kalangan dosen, guru Bahasa Jawa, mahasiswa, hingga pemerhati budaya. Seminar ini dimoderatori oleh Dr. Astiana Ajeng Rahadini, M.Pd., dosen FKIP UNS, dan turut menghadirkan pembicara lain yaitu Dr. Prembayun Miji Lestari, S.S., M.Hum. dari FBS Universitas Negeri Semarang.
Pemaparan Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum.
Dalam sesi pemaparannya, Dr. Sukarjo membawakan materi bertajuk “Heroisme Values dan Transaksi Budaya dalam Kisah Kasan-Kusen: Potret Kebudayaan Jawa Islam dalam Produksi Kesenian Kethoprak.” Ia menekankan bahwa kesenian kethoprak memiliki potensi besar sebagai media pembelajaran Bahasa Jawa yang efektif dan menyenangkan, khususnya bagi generasi milenial.
“Kethoprak bukan sekadar pertunjukan hiburan. Ia adalah cermin nilai-nilai heroisme dan budaya masyarakat Jawa, termasuk dalam konteks Islamisasi Jawa,” ujar Dr. Sukarjo.

Dosen FIB Undip, Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum. Mengisi Seminar di FKIP UNS pada 16 April 2025.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kethoprak dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berdasarkan latar sejarah yaitu masa Majapahitan, masa Kesultanan Demak, dan masa Mataraman. Masing-masing mencerminkan perubahan budaya, kostum, serta dinamika sosial-politik yang berbeda. Misalnya, kisah era Majapahit seringkali diwarnai dengan kostum khas Hindu-Buddha, sedangkan kisah era Demak sudah menunjukkan pengaruh Islam dan Melayu.
Dr. Sukarjo juga menyoroti pentingnya Kota Solo sebagai tempat kelahiran kesenian kethoprak. Solo dahulu merupakan pusat kekuasaan, ekonomi, dan kebudayaan Jawa yang memiliki peran besar dalam lahir dan berkembangnya berbagai bentuk seni tradisional, termasuk kethoprak. “Dari hiburan rakyat saat masa karantina wabah pes di tahun 1920-an, kethoprak kemudian berkembang jadi sarana edukatif dan reflektif yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat,” ungkapnya.
Tak hanya itu, ia juga menjelaskan bahwa kini kethoprak telah bertransformasi menjadi bentuk drama modern bernuansa Jawa yang memanfaatkan teknologi dan kolaborasi dengan berbagai seni lainnya. Kethoprak menjadi lebih dinamis dan inklusif, bahkan dipentaskan oleh pejabat, akademisi, hingga mahasiswa lintas kampus seperti Undip dan UI.
Respon Positif Terhadap Pemaparan Dr. Sukarjo Waluyo, S.S., M.Hum.
Sesi pemaparan Dr. Sukarjo mendapat banyak respons positif, terutama dari para guru Bahasa Jawa yang tertarik mengintegrasikan kethoprak dalam perangkat pembelajaran di sekolah. Kolaborasi antara seni dan pendidikan ini menjadi bukti bahwa pelestarian budaya tidak hanya mungkin, tetapi juga relevan dan adaptif terhadap zaman.