Mengenal Karya Sastra Feminis: Wujud Perjuangan Perempuan di Dunia Sastra

Pendapat: Laura Andri Retno Martini, S.S., M.A.

Tim Humas FIB Undip berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan Ibu Laura Andri Retno Martini, S.S., M.A., dosen program studi Sastra Indonesia FIB Undip yang memiliki kepakaran di bidang karya sastra feminis.

Dalam wawancara tersebut, beliau menjelaskan secara mendalam tentang makna, ruang lingkup, dan pentingnya mempelajari sastra feminis, terutama dalam konteks sosial dan budaya di Indonesia.

Apa Itu Karya Sastra Feminis?

Menurut Ibu Laura, karya sastra feminis adalah karya sastra yang berisi tentang pengalaman, pergolakan, serta perjuangan perempuan dalam kehidupan.

Namun, tidak semua karya sastra  yang ditulis oleh perempuan bisa langsung disebut sebagai karya sastra feminis. Begitu juga sebaliknya, tidak semua karya dengan tokoh utama perempuan, baik ditulis oleh penulis laki-laki maupun perempuan, bisa dimaknai sebagai sastra feminis.

“Sastra feminis itu muncul ketika di dalam karya tersebut terdapat perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak yang sama dan setara dengan laki-laki,” ujar Ibu Laura.

Sesuatu yang dilawan oleh karya sastra feminis bukanlah sosok laki-laki itu sendiri, melainkan sistem patriarki yang sudah mengakar sejak lama. Sastra feminis ingin membuka ruang dialog tentang ketimpangan dan ketidakadilan yang selama ini diterima perempuan di berbagai ranah, baik domestik maupun publik.

Sastra Sebagai Cermin Realitas Sosial

Dalam pandangan Ibu Laura, sastra merupakan dunia rekaan yang merefleksikan realitas sosial. Karya sastra menjadi medium yang merekam kegelisahan, perlawanan, dan dinamika kehidupan, termasuk perjuangan melawan ketidaksetaraan gender.

“Karya sastra adalah cermin realitas sosial, ia bersifat mimesis, meniru kehidupan nyata, termasuk pergolakan sistem patriarki yang masih kuat membelenggu perempuan sebagai “the second sex”. Tema-tema tentang opresi, ketidakadilan gender, hingga perlawanan perempuan pun kerap muncul dalam teks-teks sastra. Oleh karena itu, teori sastra feminis menjadi penting sebagai pisau analisis untuk membongkar lapisan-lapisan penindasan yang terekam dalam karya sastra dan merefleksikan bagaimana suara perempuan berupaya menembus dominasi patriarki,” jelasnya.

Melalui pendekatan feminis, pembaca bisa memahami sejauh mana kekuatan suara perempuan hadir dalam sebuah karya, serta bagaimana tokoh-tokoh perempuan digambarkan, apakah sebagai subjek yang aktif berjuang atau sekadar objek penderita.

Laura Andri Retno Martini, S.S., M.A.

Laura Andri Retno Martini, S.S., M.A.

Perempuan dan Dunia Tulis-Menulis: Perjuangan yang Tidak Selesai

Sejarah mencatat bahwa perempuan telah lama menulis, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Namun, nama-nama mereka kerap tersembunyi. Banyak penulis perempuan di Eropa yang harus menggunakan nama samaran laki-laki agar tulisannya bisa diterbitkan.

“Di Indonesia pun sama, karya-karya perempuan dulu banyak yang tidak diterbitkan atau tidak dianggap penting karena membahas hal-hal domestik yang dianggap remeh,” kata Ibu Laura.

Akibatnya, dunia sastra Indonesia didominasi oleh karya-karya laki-laki. Namun, kondisi ini mulai berubah. Perempuan kini semakin berani menyuarakan kisah dan keresahannya lewat tulisan. Mereka tidak lagi menunggu pengakuan, tetapi menciptakan ruang mereka sendiri dalam dunia sastra.

Karya Sastra Feminis dan Masa Depan: Membangun Pola Pikir Humanis

Ibu Laura menekankan bahwa belajar sastra feminis bukan semata-mata untuk mencetak seseorang menjadi aktivis atau pejuang kesetaraan gender, melainkan membentuk cara berpikir yang lebih humanis.

“Sastra feminis itu tidak membentuk kamu menjadi apa, tapi membentuk kamu menjadi seseorang yang bisa memanusiakan manusia lainnya,” jelasnya.

Dengan memahami feminisme, seseorang diajak untuk melihat perempuan sebagai manusia seutuhnya, dengan hak dan kewajiban yang setara dengan laki-laki. Ini penting karena perempuan sering kali disingkirkan dari berbagai aspek kehidupan seperti agama, politik, ekonomi, bahkan dalam lingkup keluarga.

“Perempuan kerap dilarang sekolah tinggi, tidak boleh bekerja jauh, atau dianggap hanya cocok berada di rumah. Padahal, perempuan juga punya hak yang sama untuk mengembangkan diri, banyak pula karya sastra yang menempatkan perempuan sebagai objek erotik bagi laki-laki.” tambahnya.

Lulusan Sastra Feminis: Bukan Sekadar Profesi, Tapi Pola Pikir

Saat ditanya soal prospek lulusan sastra yang mempelajari feminisme, Ibu Laura menegaskan bahwa yang dibentuk bukan sekadar profesi, tetapi pola pikir.

“Kalau dia laki-laki, dia bisa lebih memahami dan menghargai perempuan. Kalau dia perempuan, dia bisa lebih menyadari potensi dirinya dan berani memperjuangkannya,” ucapnya.

Dengan pola pikir yang humanis, para lulusan diharapkan menjadi agen perubahan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial. Mereka bisa bekerja di mana saja, namun tetap membawa semangat untuk menempatkan perempuan dalam posisi yang setara sebagai manusia.

Sastra feminis bukan hanya genre, tapi juga gerakan. Ia hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas dan sebagai upaya untuk memanusiakan perempuan. Belajar sastra feminis berarti belajar untuk berpikir adil, merangkul keberagaman, dan memperjuangkan hak-hak yang selama ini terpinggirkan. Di tangan para pembaca dan penulis muda, sastra feminis akan terus hidup dan menjadi cahaya dalam dunia sastra Indonesia.

Bagikan Berita