Universitas Diponegoro melalui Program Magister Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya, menyelenggarakan Diponegoro International Seminar on Interdisciplinary Linguistics pada Rabu, 20 Agustus 2025. Acara yang dipandu oleh Dr. Dwi Wulandari, M.A. sebagai moderator.
Rangkaian acara berlangsung dalam dua sesi, yakni Parallel Session pukul 09.15 WIB dan Panel Session pukul 13.00 WIB. Melalui penyelenggaraan Diponegoro International Seminar on Interdisciplinary Linguistics ini, diharapkan tercipta ruang dialog ilmiah yang produktif bagi para akademisi, peneliti, dan mahasiswa untuk saling bertukar gagasan, memperluas wawasan, serta membangun jejaring internasional di bidang linguistik. Selain memperkaya pemahaman tentang isu-isu kontemporer bahasa dari berbagai perspektif, seminar ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata bagi pengembangan kajian linguistik yang lebih inklusif, interdisipliner, dan relevan dengan tantangan global maupun kebutuhan lokal.
Narasumber panel yang pertama yakni Dr. Hunter Hatfield memaparkan materi berkaitan dengan Deep Learning of Language Models and Linguistic Meaning. Hatfield menyampaikan Large Language Models (LLMs) memiliki kemampuan untuk memproses bahasa, tetapi tidak dapat sepenuhnya memahami maknanya seperti manusia. Makna dalam bahasa manusia berasal dari berbagai sumber, termasuk simulasi pengalaman dengan tubuh, pengetahuan semantik (hubungan antar item), dan pengetahuan episodik (pengalaman dan cerita pribadi). Sementara itu, LLMs bekerja dengan memprediksi kata berikutnya dalam sebuah kalimat dan merekam “konteks” dari kata-kata tersebut, yang dienkode sebagai vektor. Karena LLMs tidak memiliki tubuh, pikiran, atau pengalaman, mereka tidak dapat memiliki pengetahuan episodik atau simulasi seperti manusia. Oleh karena itu, mereka lebih baik dalam menjawab pertanyaan yang melibatkan pengetahuan semantik umum daripada pertanyaan yang membutuhkan pemahaman episodik. Hasilnya, meskipun LLMs dapat “berbicara” seperti manusia pada umumnya, mereka kurang baik dalam meniru individu tertentu dan terkadang “berhalusinasi” karena konteks mereka sangat berbeda dari manusia.
Selanjutnya, materi tentang The Makuva case: a Linguistic Detective yang disampaikan oleh Aone van Engelenhoven, Ph.D. Materi ini membahas bahasa Makuva di Timor-Leste yang kini hampir punah dengan hanya puluhan penutur tersisa. Bahasa ini dulunya dipakai oleh beberapa klan di daerah Tutuala dan sekitarnya, tetapi berangsur-angsur ditinggalkan demi Fataluku yang dianggap lebih bergengsi. Penelitian terdahulu menunjukkan adanya kerancuan
dalam klasifikasi Makuva karena ciri leksikalnya mirip Austronesia, sementara morfologi dan sintaksisnya memperlihatkan pengaruh Papuan. Kini, Makuva tidak lagi berfungsi sebagai bahasa komunikasi sehari-hari, melainkan dipertahankan secara tersembunyi sebagai bahasa ritual dan identitas etnis, diajarkan hanya kepada perwakilan tertentu dari klan sebagai bagian dari tradisi sakral.
Pemateri selanjutnya yakni Ruanni Tupas, Ph.D. dengan materi Linguistic (in) justice and Unequal Englishes. Materi ini membahas konsep ketidakadilan bahasa yang muncul ketika cara berbicara atau variasi bahasa seseorang dianggap lebih rendah dibandingkan yang lain. Sejarah “Global English” yang berakar dari kolonialisme melahirkan hierarki bahasa, di mana beberapa ragam Inggris dianggap benar dan bergengsi, sementara yang lain dipandang salah atau tidak sah. Fenomena seperti native speakerism, ideologi defisit bahasa, diskriminasi aksen (accentism), serta praktik homogenisasi dan subtraktif dalam pendidikan memperkuat ketidaksetaraan ini, berdampak pada marginalisasi penutur, rendah diri, dan penurunan prestasi akademik. Sebagai alternatif, pendekatan yang menekankan keberagaman, keterhubungan lintas bahasa (translingual dispositions), serta pengakuan kesetaraan semua bentuk bahasa Inggris diusulkan untuk melawan ketidakadilan linguistik.