FIB UNDIP – Suasana hangat penuh refleksi budaya terasa di Teras Budaya Prof. Mudjahirin Thohir, Jalan Sabrang Lor, Kutoharjo, Kaliwungu, pada Kamis malam (18/9/2025).
Puluhan orang hadir pada acara diskusi buku bertajuk “Jejak Diplomasi Bahurekso dalam Novel Bau karya Gunoto Saparie” yang menghadirkan penulis sekaligus tokoh penting di dunia sastra dan sejarah.
Tiga Narasumber Hadirkan Sudut Pandang Berbeda
Acara ini menghadirkan tiga narasumber utama. Pertama, Gunoto Saparie, penulis novel Bau sekaligus Ketua Umum Satupena Jawa Tengah, yang membuka diskusi dengan menjelaskan latar belakang kreatifnya menulis novel.
“Novel ini lahir dari kesadaran akan kelangkaan tema sejarah lokal dalam fiksi kita,” ungkap Gunoto.
Narasumber kedua, Muchlisin, sejarawan sekaligus Ketua Lesbumi Kendal, memberikan perspektif berbeda. Ia menilai Bau menawarkan cara pandang baru dalam melihat sosok Bahurekso.
“Rata-rata kisah sezaman selalu menekankan unsur magis seperti kesaktian, karisma, strategi. Tetapi Gunoto justru memilih menekankan sisi historis dari sudut kolonial. Bagaimana orang-orang Kompeni melihat Baurekso, bukan semata orang Kendal atau Jawa,” jelasnya.
Dari sisi akademis, hadir Sukarjo Waluyo, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, yang membedah novel Bau sebagai kekuatan sastra dalam merawat ingatan budaya. Diskusi ini dipandu oleh Lukluk Anjaina sebagai moderator.
Novel Bau: Sejarah Lokal yang Dibaca Ulang
Dalam ulasannya, Sukarjo Waluyo menegaskan bahwa sastra bisa menjadi jembatan penting untuk merawat memori budaya. Ia menyebut novel Bau bukan sekadar fiksi, melainkan ruang alternatif untuk membaca sejarah rakyat pesisir Jawa yang seringkali terpinggirkan.
“Novel Bau menghadirkan sejarah alternatif, bukan hanya tentang politik atau perebutan kuasa, tapi juga tentang pengalaman hidup, konflik identitas, dan pergulatan sosial budaya. Ia menjadi arsip hidup yang menyuarakan mereka yang kerap dilupakan sejarah resmi,” tulis Sukarjo dalam kajiannya.
Novel ini menggambarkan Baurekso, Bupati Kendal pertama sebagai manusia biasa yang bergulat dengan dilema kekuasaan, pengabdian, dan keberpihakan pada rakyat. Laut, pesisir, dan pluralitas budaya hadir sebagai simbol kuat dalam cerita, menjadikan Bau tidak hanya sebagai novel sejarah, tetapi juga ruang ingatan budaya yang hidup.

Sukarjo Waluyo dalam Diskusi Novel “Bau” di Teras Budaya Prof. Mudjahirin Thohir, Kaliwungu
Ajang Dialog Sejarah, Sastra, dan Budaya
Diskusi di Teras Budaya Prof. Mudjahirin Thohir ini menjadi ajang pertemuan antara sejarah, sastra, dan budaya. Hadirin tidak hanya menikmati pemaparan narasumber, tetapi juga diajak merenungkan kembali relevansi tokoh Bahurekso di era modern.
FIB Undip melalui kehadiran dosennya terus mendorong lahirnya ruang-ruang dialog yang mempertemukan perspektif akademis dengan karya sastra. Harapannya, kegiatan ini dapat menumbuhkan kesadaran baru bahwa sastra bukan hanya hiburan, melainkan sarana refleksi sejarah, identitas, dan nilai-nilai kebudayaan.
Merawat Ingatan Lokal di Tengah Arus Global
Di tengah derasnya arus globalisasi, novel Bau menjadi pengingat bahwa identitas lokal adalah kekuatan yang tak boleh dilupakan. Dari pesisir Kendal, kisah Bahurekso kembali dihidupkan, bukan sekadar sebagai tokoh sejarah, tetapi sebagai simbol perlawanan identitas dan keberanian rakyat.
Acara ini sekaligus menjadi bukti bahwa FIB Undip aktif berperan dalam merawat ingatan budaya, menghidupkan narasi lokal, serta mempertemukan dunia akademik dengan masyarakat luas melalui ruang budaya yang inklusif.