Budaya Populer Bukan Sekadar Tren tapi Cerminan Identitas Sosial: Ini Kata Pakarnya!

Pendapat:  Arido Laksono, S.S., M.Hum. (arido@lecturer.undip.ac.id)

Tim Humas Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro (FIB Undip) berkesempatan mewawancarai Bapak Arido Laksono, S.S., M.Hum., salah satu dosen FIB Undip yang dikenal memiliki kepakaran dalam bidang budaya populer. Dalam wawancara tersebut, Pak Arido menjelaskan secara mendalam mengenai bagaimana budaya populer bekerja dalam masyarakat serta relevansinya terhadap pola pikir generasi saat ini.

“Saya memang fokus pada budaya populer, terutama dalam konteks politik budaya dan sejarah kebudayaan,” ujar Pak Arido. Ia juga menyampaikan bahwa selain budaya populer, dirinya menaruh minat besar pada isu-isu pluralisme, multikulturalisme, dan folklore yang erat kaitannya dengan tradisi lisan.

Budaya Populer: Antara Industri dan Identitas

Menurut Pak Arido Laksono, budaya populer atau pop culture adalah produk budaya yang dibentuk oleh industri karena adanya kebutuhan pasar. Budaya ini kemudian dikonsumsi oleh masyarakat, terutama kalangan muda, yang secara tidak langsung membentuk identitas mereka.

“Cara seseorang berpakaian, memilih produk, bahkan gaya hidup mereka, sebagian besar merupakan hasil representasi industri. Konsumsi itu pada akhirnya menggambarkan siapa diri mereka,” jelasnya.

Lebih lanjut, Pak Arido menyebutkan bahwa budaya populer terus mengalami perputaran tren. “Apa yang dulu ngetren tahun 70-an, sekarang bisa muncul kembali dalam bentuk vintage. Sejarah berulang, begitu pula budaya,” tambahnya.

Arido Laksono, S.S., M.Hum., salah satu dosen FIB Undip yang dikenal memiliki kepakaran dalam bidang budaya populer.

Arido Laksono, S.S., M.Hum., salah satu dosen FIB Undip yang dikenal memiliki kepakaran dalam bidang budaya populer.

Pop Culture dan Masa Depan Mahasiswa

Dalam konteks pendidikan, Pak Arido juga menyoroti pengaruh budaya populer terhadap mahasiswa. Ia mengingatkan bahwa budaya populer yang terlalu didominasi industri bisa mengarah pada pola konsumsi berlebihan.

“Jika tidak bijak, mahasiswa bisa terjebak dalam budaya konsumtif. Padahal, budaya semestinya adalah hasil adaptasi manusia untuk bertahan hidup, bukan sekadar memenuhi keinginan pasar,” ujarnya.

Namun demikian, ia menekankan bahwa memahami budaya populer juga membuka ruang berpikir lebih luas. Mahasiswa menjadi lebih kritis terhadap fenomena sosial dan lebih adaptif dalam menghadapi perkembangan zaman.

Peluang Lulusan FIB di Dunia Industri

Terkait prospek karier lulusan FIB, Pak Arido menyatakan bahwa di era post modern seperti sekarang, profesi tidak lagi selalu sesuai dengan latar belakang akademik.

“Banyak teman saya dari latar belakang sejarah atau sastra, sekarang sukses di bidang marketing, industri kesehatan, bahkan dunia kreatif,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu humaniora memberikan bekal pola pikir yang komprehensif dan kritis, yang sangat dibutuhkan di berbagai sektor.

Ia menambahkan, “Mahasiswa FIB dibekali kemampuan berpikir yang solutif dan terbuka terhadap berbagai perspektif. Ini sangat penting dalam dunia kerja yang dinamis.”

Pak Arido menegaskan bahwa budaya populer bukan sekadar tontonan atau hiburan. Ia adalah cerminan kompleks dari kehidupan manusia modern. Dengan memahami budaya, mahasiswa tidak hanya belajar tentang orang lain, tapi juga mengenal dirinya sendiri dan posisi mereka dalam masyarakat.

“Budaya adalah ruang untuk berpikir, bertanya, dan menemukan jati diri,” tutupnya.

Bagikan Berita